Ditulis oleh: Drs. Sukarma Fahmy Abdoeh, M.Ag.
(Dosen IAIN SUNAN AMPEL, Fakultas ADAB)
1. Pembuka
Era reformasi membuka pintu selebar-lebarnya bagi keterlibatan politik setiap anggota masyarakat. Termasuk partisipasi yang lebih banyak dari kalangan ulama (kyai) dan komunitas santri. Para alumni pesantren, yang umumnya bergiat di masyarakat selaku pekerja sosial-keagamaan, dan tidak terserap ke dalam lapangan kerja resmi, lalu bersama-sama dengan unsur warga negara lainnya yang tengah mengalami kegairahan politik baru (euforia), tertarik secara intensif ke dalam kompetisi memperebutkan kekuasaan negara. Melalui afiliasi kepada partai-partai politik yang berasaskan agama atau yang memelihara ikatan primordial dengan massa Muslim, secara langsung maupun tidak langsung mereka mencapai kedudukan penting dalam pemerintahan sebagai politikus maupun birokrat. Peranan penting mereka di bidang yang baru ini memang tidak dapat dipisahkan dari kedudukan mereka di bidang keagamaan dan sosial kemasyarakatan.
Agaknya pandangan bahwa Islam tidak memisahkan antara agama dan negara ikut mendorong munculnya gejala tersebut. Lain dari itu, kuatnya pengaruh “orang-orang pesantren” terhadap masyarakat Muslim tradisional menempatkan mereka sebagai tokoh-tokoh yang selalu diperhitungkan para penguasa dan politisi sebagai pesaing yang selalu harus diawasi, namun sekaligus juga sebagai rekanan yang potensial dalam meraih massa Muslim, bagian terbesar warga negara. Bersamaan dengan itu, semakin meluas dan mendalamnya pengaruh politik pemerintah ke dalam lingkungan Islam, seperti terhadap pesantren, madrasah, dan sebagainya menyebabkan para kyai mau tudak mau harus berpolitik (Dirdjosanjoto, 1999: 191).
Dengan menduduki jabatan-jabatan di pemerintahan, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, para tokoh agama itu sesungguhnya memiliki kekuasaan dan pengaruh yang besar terhadap suasana perpolitikan nasional, sehingga mereka dapat mengangkat posisi umat Islam yang kurang terwakili (under representation) dalam sistem politik, sosial, maupun ekonomi regim masa silam. Lebih dari itu, sebagai pelaku-pelaku politik yang terikat dengan agama, mereka ini tentu. seharusnya mampu tampil elegan menjalani fungsi ganda pada dirinya, yakni selaku pemuka keagamaan dan pejabat/ elite politik sekaligus; dua posisi yang seringkali menyangsikan efektifitas moral keagamaan vis a vis kekuasaan. Dalam kenyataannya, di waktu-waktu yang silam, kolaborasi peran keagamaan yang sacral. dan politik yang sekular sekaligus dalam satu tangan telah mendorong tumbuhnya suatu sikap sosial dan perilaku politik yang tidak kondusif pada individu yang bersangkutan maupun komunal. Bahkan mengancam harmoni antara wibawa keulamaan selaku contoh ideal tingkah laku yang otoritatif, dan arikulasi politik keagamaan kontemporer. Akibatnya, ekspektasi terhadap hubungan agama dan negara yang bersifat substansial menjadi sirna, terutama disebabkan karena pihak agama tidak memiliki kemampuan paradigmatik membangun bangsa.
2. Kesadaran Sejarah
Sering terdengar keluhan dalam percakapan sehari-hari; kaum Muslim kurang memiliki kesadaran sejarah. bahwa citra tentang Islam yang negatif di mata dunia ini ialah sebagiannya disebabkan lantaran gagalnya Muslim menjelaskan diri dan menemukan kembali peran mereka dalam sejarah umat manusia. Karena itu, banyak sarjana menyarankan, salah satunya yang dapat dilakukan, agar kaum Muslim konsisten kembali merujuk pada sejarah masa lampau mereka, yang berupa pemikiran, pengalaman, dan prestasi-prestasi Muslim terdahulu (al-Salaf al-Shâlih).
Proposisi bahwa segala pemikiran dan perbuatan harus bersumber secara metodik dan sistematis dari al-Qur’an dan teladan rasul, meniscayakan alasan-alasan pokok berikut; bahwa Islam historislah yang memberikan kontinuitas kepada wujud intelektual dan spirital masyarakat. Tak ada satu masyarakat pun yang bisa menghapus masa lalunya dan berharap untuk menciptakan wujud masa depan bagi dirinya. Kesalahan prinsipil dalam “pembaharuan” ala Attaturk di Turki terletak dalam usahanya untuk menghapus wujud historis masyarakat dan mengupayakan masa depan tanpanya.
Tetapi sebelum hal di atas dilakukan, ada baiknya diketahui secukupnya pengertian “Sejarah” dalam diskursus Islam. “Sejarah” adalah “suatu penuturan (historical explanation) tentang prestasi-prestasi intelektual dan artistik, institusi, politik, sosial, kultural, ekonomi, dan sebagainya. yang terkait langsung (subjek) maupun tidak langsung (objek) dengan manusia Muslim, yang disertai kesadaran akan ruang dan waktu”. Perkataan bahasa Arab, târikh atau ta’rikh artinya “titi mangsa”; mengandung dan melibatkan pembuktian atau sekurang-kurangnya penafsiran obyektif, dimana suatu rekonstruksi tanpa dapat menyebut dharaf atau dimensi ruang dan waktunya hanya menghasilkan suatu dongeng atau mitologi; sesuatu yang barangkali berguna namun “tidak ilmiah”. Dengan demikian, Sejarah adalah konfigurasi atau manifestasi Islam dalam kehidupan simbolik, sosial, dan material umat di dalam kenisbian ruang dan waktu.
Dalam hal ini, memang kesadaran sejarah yang dimaksud tidaklah sama dengan menghafal rentetan peristiwa-peristiwa dan pelakunya di masa lampau, plus kemampuan menceritakannya lengkap dengan kronologi kapan dan di mananya. Kesadaran sejarah dalam konteks yang dibicarakan ini ialah kesadaran bahwa Islam merupakan satu unitas religio-politik yang selalu terwujud dalam hubungan dinamik dengan faktor ruang dan waktu. Seperti tergambar dalam perjalanan sejarahnya, Islam sangat kuat mendorong tumbuhnya nilai-nilai egaliter dalam pembangunan sistem politik yang partisipatoris. Kesalah pahaman atas kesadaran tersebut dari sudut proses apresiasi, menurut Magetsari, akan sangat merugikan. Karena itu, “Secara teoritis, kemampuan suatu aktualisasi makna dalam dunia ide atau teks, sertakemudian mewujudkannya dalam dirinya sendiri, selain ditentukan oleh “horizon” atau pandangan yang dimiliki seseorang yang bersangkutan, juga dipengaruhi oleh “kesadaran sejarah”, yang akan memungkinkan manusia untuk menempatkan horizonnya itu pada dimensi-dimensi yang sebenarnya,” ujar Magetsari (1998: 149-50);.
Sebagaimana diketahui, distorsi dan falsifikasi terhadap rujukan masa lampau, khususnya dalam kesejarahan umat Muslim, sesungguhnya seringkali disebabkan lantaran sangat minimnya perhatian terhadap sejarah (historical mindedness). Padahal melalui kesadaran semacam itu, kata Taufik Abdullah (1986: xi), sejarah dapat menjadi sumber pelajaran berharga bagi suatu masyarakat. dan sanggup menyajikan suatu kerangka acuan yang dapat dipertanggung jawabkan, mengingat dari situ dapat diasumsikan suatu “hukum sejarah” yang objektif dan tetap. Dalam konteks sekarang, maka penumbuhan kesadaran sejarah tersebut adalah juga di dalam rangka pendidikan karakter bangsa, yang akhir-akhir ini sejak era reformasi terlihat dalam kondisi disorder.
Krisis dan disintegrasi sosial-politik baik secara vertikal maupun horisontal menyeret masyarakat cenderung semakin kehilangan keadaban (civility). Hilangnya karakter masyarakat ini lebih jauh akar masalahnya terletak tidak saja disebabkan krisis ekonomi maupun politik, melainkan juga karena serbuan globalisasi nilai-nilai dan gaya hidup yang tidak selalu kompatibel dengan nilai-nilai agama, dan norma-norma sosial-budaya lokal. Akibatnya, disorientasi dan dislokasi keluarga dan masyarakat semakin dipercepat. Maka langkah penting yang mungkin dapat dilakukan di dalam rangka pendidikan karakter masyarakat bangsa Indonesia, yang mayoritas Muslim, tersebut adalah dengan mengusahakan suatu proses pembelajaran melalui penanaman (tarbiyah) nilai-nilai luhur agamanya, sebagaimana teladan Nabi dan orang saleh terdahulu. Dengan demikian, penanaman kesadaran sejarah jelas memiliki pengaruh besar terhadap keberhasilan pembentukan karakter bangsa.
3. Pesantren Sebagai Feeder Institution
Suatu kenyataan yang hampir luput dari perhatian kita ialah bahwa kebanyakan para politikus agama akhir-akhir ini secara sosiologis dan intelektualberbasis atau memperoleh pendidikan dasar di pesantren. Pesantren sebagai tempat dimana aturan-aturan dan nilai-nilai Islam diajarkan dan dipelihara adalah lembaga pendidikan rakyat yang murah dan mudah. Berkenaan dengan perlunya penumbuhan kesadaran umat Muslim di atas, maka pesantren tentu tidak hanya menjadi tempat belajar (transfer of knowledge), namun sekaligus juga tempat memperoleh pendidikan, termasuk pendidikan karakter. Pesantren bertanggung jawab bukan hanya dalam mencetak peserta didik yang unggul dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga dalam membangun karakter (nation building) dan budaya politik agama. Usaha-usaha tersebut setidaknya dapat dilihat dalam pendekatan: menerapkan cara modelling atau exemplary atau uswah hasanah. Yakni mensosialisasikan dan membiasakan lingkungan pesantren untuk menghidupkan pemikiran dan tingkah laku berdasar model atau teladan kehidupan yang islami.
Sayangnya, pada umumnya lembaga pendidikan keagamaan tradisional pesantren dinilai tidak atau kurang serius mencanangkan perlunya sosialisasi dansubjek pengetahuan sejarah (Islam), yang mengajarkan kepada peserta didiknya “suatu rekonstruksi tentang pengalaman-pengalaman masa silam yang mengesankan, yang dengan itu individu maupun kolektif memperoleh perasaan identitas dan kesadarannya untuk mengambil keputusan yang berguna bagi dirinya sendiri dankemanusiaan”. Di dalam rangka membangun kembali kejayaan manusia Muslim
Muhammad Abduh dengan gigih memperjuangkan agar sejarah dapat diajarkan perguruan Al-Azhar. Ia sendiri menjadi pengajar sejarah di Universitas Dâr al-Ulû dengan memakai buku referensi Muqaddimah karya Ibn Khaldûn untuk filsafat sejarah, dan buku “Sejarah Kemajuan di Eropa dan Perancis” tulisan Guizot untu sejarah politik (Shiddiqi, 1991, 69). Selain untuk tujuan yang lebih besar seperti tersebut di atas, yaitu pendidika pesantren menanamkan kesadaran sejarah untuk membangun karakter bangsa pendidikan sejarah di pesantren juga, antara lain, dimaksudkan untuk menolak kesa umum mengenai pendidikan agama Islam di lembaga-lembaga seperti pesantren ini yang melulu mengkaji persoalan-persoalan normatif-dogmatif belaka. Terdapat sua kesan umum bahwa tamatan-tamatan pesantren gagap menghadapi realita kehidupan di lingkungan masyarakatnya. Sehingga umat Islam (komunitas santri masih seperti orang asing di rumahnya sendiri. Hal ini lantaran mereka memperole pengajaran Islam yang bersifat normatif, bukan realitas atau nilai-nilai yang sudah berlaku atau diperaktekkan oleh komunitas penganutnya (sejarah).
Hasil sebuah penelitian (Mastuhu, 1994: 170-3), menunjukkan bahwa di beberapa pondok pesantren tradisional bahkan tidak terdapat materi sejarah dalam kurikulum pendidikan mereka. Dalam daftar kitab yang dikaji di beberapa pesantren besar di Jawa, misalnya, terlihat tidak terlalu ada tambahan koleksi yang signifikan atas teks-teks yang dipakai di berbagai pesantren dan madrasah sejak satu abad setelah studi rintisan tentang kurikulum pesantren Jawa (dan Madura) yang dilakukan oleh Van den Berg di tahun 1886, sebagaimana dilaporkan kembali oleh Martin van Bruinessen (1995: 131). Tetap saja tradisi pesantren dan kitab-kitab kuning yang dipergunakan masih bersifat pendidikan dan pengajaran yang didominasi oleh pemikiran keagamaan warisan abad ke 7-13 Masehi dengan orientasi fikih dan kesufian. Kandungan intelektual Islam tradisional itu berkisar pada faham ‘aqîdah Asy’arî (khususnya melalui karya-karya al-Sanûsî), madzhab fiqh Syafî’î (dengan sedikit menerima tiga madzhab lainnya), dan ajaran-ajaran
akhlâk-tashawwuf al-Ghazalî dan pengarang kitab sejenis. Menurut Karel Steenbrink (1998); sebagian kitab yang dipelajari di pesantren, termasuk karya-karya mutakhir isinya berkisar pada tiga kategori itu atau pada “ilmu alat” yang berupa gramatika bahasa Arab tradisional (nahw), meskipun metode ini terbukti tidak efesien dibandingkan dengan pendekatan-pendekatan yang lebih modern. Ironisnya, kebanyakan santri memperoleh pengetahuan mengenai sejarah Islam pada umumnya dari karya-karya yang berisi penghormatan kepada Nabi dan orang-orang saleh. Kitab-kitab seperti Kitâb al-Barzanji (buku kelahiran Nabi) karya Ja’far al-Barzinjî, kitab Dardir (suatu syarah susunan Ahmad Dardir atas kitab Mi’râj, perjalanan nabi ke langit, versi Najm al-Dîn al-Gaithî), Burdah karya Bushîrî Dibâ’i --puisi penghormatan kepada Nabi--, dan berbagai kitab manâqib (seperti manâqib Abd al-Qâdir al-Jîlanî) adalah teks-teks yang mengandung nilai sejarah Islam, tetapi penggunaannya di pesantren selama ini bukanlah ditujukan untuk keperluan pendidikan dan tidak berfungsi sebagai bahan pelajaran, melainkan untuk keperluan pemujaan dan ritual mengiringi siklus kehidupan seseorang, memenuhi nazar atau menangkal bahaya, dan kadang-kadang untuk tujuan mengusir setan. Penekanan yang seringkali diberikan dalam pembacaan kitab-kitab tersebut adalah kepada upaya memperoleh pahala yang banyak, keuntungan spiritual dan material yang akan diperoleh dengan perbuatan itu, dan bukan kepada aspek kandungan informasi teks tersebut.
Sejarah Islam secara umum merupakan mata pelajaran baru yang diajarkan di pesantren, dan jumlah kitab yang tersedia mengenai bidang ini masih sangat terbatas. Van Bruinessen menemukan hanya kitab Nûr al-Yaqîn karangan Muhammad Khudlari Bek (dalam versinya yang lebih ringkas Khulâshah Nûr al-Yaqîn ditulis oleh Umar Abd Al-Jabbâr) benar-benar merupakan satu-satunya teks serius tentang sîrah (biografi Nabi) yang sekarang dijadikan bahan pelajaran di beberapa pesantren (Bruinessen, 1995: 168), tetapi dalam penelitian yang lebih baru, yang dilakukan oleh Mastuhu (1994: 170-3) buku teks sejarah Islam malah tidak ditemukan sama sekali dalam daftar kitab yang dikaji di pesantren-pesantren besar di Jawa dan Madura.
Setelah jaman keemasan Nabi dan para sahabatnya, kaum muslim mengalami kemerosotan kekuasaan politik yang terus menerus. Jatuhnya Baghdad pada 1258 menandai akhir kejayaan Islam dan awal periode kejatuhan yang panjang di bidang politik, ekonomi, dan agama. Hal ini mengakibatkan terbentuknya konsep yang dominan terhadap sejarah cenderung agak pesimistis, sehingga sejarah Islam tidak dipandang penting sebagai subjek pada dirinya sendiri. Pesantren-pesantren yang memelihara sikap taqlîd dan terlihat kurang apresiatif terhadap datangnya kebangkitan dunia Arab pada penutup abad kesembilan belas yang sangat dekat dengan gerakan kaum modernisnya Jamâluddîn Al-Afghânî, Abduh, dan lain-lainnya, tentu saja menganut visi sejarah tidak dinamis semacam di muka.
Oleh karena hampir-hampir tidak diketahui informasi maupun sumbernya, warisan peradaban kaum Muslim terdahulu yang gemilang tidak dapat diapresiasi untuk memberikan motivasi bagi pembentukan watak (character building) kaum Muslim ke depan, sampai mereka menjadi partisipan aktif dalam perkembangan historisnya. Jadi, sejarah sebenarnya memiliki posisi strategis dalam pendidikan Muslim, dimana melalui pengkajian sejarah; dinamika dan pencapaian-pencapaian orisinal umat Islam dalam pelbagai aspeknya; intelektual dan artistik, institusi, politik, ekonomi, kultural dan sebagainya, dapat dipresentasikan secara luas, dan ditanamkan kepada peserta didik, sampai mereka termotivasi untuk membentuk kesadaran sejarahnya masing-masing.
Akibatnya, pelajaran sejarah Islam tidak tercantum dalam lektur pesantren, karena materi pengajaran ini dianggap bukan merupakan disiplin ilmu yang penting. Padahal secara substansif, pengajaran sejarah Islam dapat menjadi materi pokok dan seharusnya merupakan satu bagian penting pada kurikulum pendidikan keagamaan di pondok pesantren, sejajar dengan mata pelajaran keagamaan konvensional lainnya seperti fiqh, tauhîd, ilmu-ilmu bahasa Arab (nahw-sharaf), dan lain-lainnya. Banyak sekali riwayat yang dikaitkan dengan episode-episode tertentu dalam sejarah Islam dalam literatur pesantren malah digunakan dalam rangka pendidikan moral. Menurut Steenbrink (1998: 159-60); Satu-satunya karya besar sejarah di Melayu yang membahas sejarah umum Islam adalah buku kedua dari Bustân al-Salâthîn tulisan Nuruddin al-Raniri, tetapi karya ini pun sesungguhnya merupakan kumpulan pelajaran moral bagi raja-raja dan rakyat awam.
Yang dimaksud dengan kurikulum di sini adalah semacam proyeksi yang bersifat umum, karena pesantren berbeda dengan madrasah atau sekolah dalam hal tidak adanya keseragaman dalam kurikulum, disamping beberapa hal lainnya. Masuknya mata pelajaran sejarah dalam kurikulum ini dimungkinkan karena umumnya lembaga pesantren tak ubahnya laksana suatu usaha pribadi; dimana tujuan pendidikan, rencana dan program-program kerjanya dikelola menurut improvisasi yang dipilih sendiri oleh kyai pendiri dan para pembantunya. Jadi bagi pengelola yang bisa dan mau memahami dinamika dan realitas masyarakat Muslim, tentu gagasan pengajaran sejarah akan direspon positif. Karena dengan begitu, lembaga pendidikan pesantren akan banyak memberikan manfa’at bagi masyarakat Muslim. Sebaliknya, seorang kyai yang kebetulan memiliki kapasitas intelektual terbatas, tentu cenderung menolak atau menghambat dimasukkannya pengetahuan kesejarahan itu ke dalam rencana pengajaran pesantren yang dipimpinnya. Alasan utama dari keengganan, untuk tidak mengatakan; menentang, terhadap pembaharuan kurikulum atau pemoderenan pemikiran Muslim melalui pendidikan ini adalah disebabkan karena kyai pesantren yang tergolong ke dalam kategori terakhir tersebut sangat tidak peduli pada pengetahuan praktis (termasuk pengetahuan kehidupan sosial dan niali-nilainya sebagaimana terkandung secara substantif dalam ilmu sejarah) dan keterampilan profesional (teknik, kedokteran, dsb.) yang disebut fann (jamaknya funun). Mereka merasa cukup puas dan bangga dengan hanya mengajarkan ‘ilm, yakni pengetahuan Syari’at bagi pembinaan pemikiran dan semangat Muslim (Fazlurrahman, 1985: 50-5).
Sepanjang sejarahnya, sesungguhnya kurikulum pesantren telah mengalami beberapa kali perubahan dan pembaharuan. Mula-mula sifat intelektual Islam jaman pertengahan begitu dominan mewarnai keilmuan pesantren saat beberapa orang Indonesia yang belajar di Mekah dan bermukim bertahun-tahun di sana mengembangkan intelektualisme Islam ortodoks—terutama teologi ortodoks dan hadits— mulai menyebarkan ilmu-ilmu mereka di pesantren-pesantren. Hal ini seperti tampak dari banyaknya referensi “Kitab Kuning” yang berisi hasil pemikiran keagamaan abad ke-7-13 yang bercorak fiqh dan kesufian. Meskipun demikian, materi Tafsir Jalâlayn yang sekarang mudah ditemukan di mana-mana, menurut van den Berg (dikutip Bruinessen, 1995: 159), pada akhir abad ke-19 belum dianggap sebagai bagian yang sangat penting dalam kurikulum pesantren. Barulah berkat modernisme dengan slogannya yang populer berbunyi; “Kembali kepada al-qur’an
dan hadits”, penafsiran al-qur’an jelas semakin mendapatkan arti pentingnya. Banyak ulama tradisionalis yang begitu saja merasa berkewajiban untuk menyesuaikan diri dan mulai memperhatikan tafsîr secara lebih serius. Hadits, bahkan lebih daripada tafsîr, merupakan mata pelajaran yang relatif baru di pesantren. Adanya minat yang lebih besar untuk mempelajari hadits sekarang ini hingga menjadi mata pelajaran wajib di kebanyakan pesantren barangkali karena akibat gerakan modern seperti dampaknya terhadap tafsîr.
Di masa mutakhir ini sejak lebih kurang 30 tahun yang lalu, sebagai akibat tantangan yang semakin gencar dari perkembangan kemajuan ilmu dan teknologi, pesantren menyelenggarakan jenis pendidikan formal seperti madrasah dan sekolah yang mempelajari ilmu-ilmu umum, dan sumber-sumber belajar pun telah berkembang luar biasa tidak hanya terbatas pada refrensi keagamaan tradisional semata (Karel Steenbrink, 1988). Secara keilmuan, perkembangan ini dengan sendirinya akan menghasilkan suatu pendekatan yang lebih luas dalam memahami ajaran Islam, khususnya Sejarah Islam. Setidaknya terdapat tiga alasan mengapa pengajaran sejarah sangat relevan bagi Muslim, yaitu; Pertama, kewajiban Muslim meneledani jejak dan karakter nabi Muhammad, dan khususnya di dalam rangka memperoleh pedoman pasti tentang peribadatan dan hukum-hukum agama. Pengetahuan akan riwayat Nabi juga sangat relevan untuk menjelaskan “dinamika” hidup Muhammad dalam hubungan dengan konteks sosialnya. Meskipun yang bersangkutan digambarkan sebagai suatu pribadi paripurna yang dipilih Tuhan, tetapi logika sejarah tetap menempatkannya tidak lebih dari manusia biasa yang hidup di dalam konteks ruang dan waktu tertentu sehingga meminimalisir persepsi mitologis tentangnya.
Kedua, piranti penting untuk memahami dan menafsirkan dua sumber doktrin ajaran Islam adalah pengetahuan mengenai latar belakang sejarah dan faktor-faktor penyebab turunnya wahyu tersebut. Sebagaimana terlihat dalam legislasi aktual dari ajaran universal al-qur’an, teks suci tersebut memuat dorongan moral dan seruan religius berupa moment psikologis yang kuat luar biasa dalam konteks sosial politik Mekah, sebagiannya malah telah menerima kondisi-kondisi sosiologis Arab pra-Islam sebagai rujukan. Demikian pula halnya dengan hadits Nabi; keputusan dan petunjuk Nabi tersebut biasanya bersumber dari, dan berhubungan dengan fenomena dan situasi objektif waktu itu, baik situasi keagamaan maupun politik. Ketiga, untuk menampilkan peristiwa-peristiwa penting di masa lampau; problem-problem Muslim, evolusi peradabannya dari masa ke masa, dan dinamika spiritual dan material umat Islam, sampai hal itu berhasil menumbuhkan imajinasi romantik atau etik, serta apresiatif terhadap terhadap warisan kultural Islam pada umumnya.
4. Kurikulum Pengajaran Sejarah
Seperti tersebut dalam uraian-uraian di atas, tujuan pengajaran sejarah Islam yang dicanangkan adalah bahwa pendidikan sejarah haruslah mengemban tugas sebagai wahana transmission of culture. Menurut pandangan yang dinamakan “perenialisme” ini, maka pengajaran disiplin itu mengarahkan peserta didik (santri) kepada penghargaan setinggi-tingginya atas the glourios past. Lalu, oleh karena pengagungan (veneration) dalam konteks terhadap masa lalu Islam ini memupuk dimensi baru dalam aktualisasi keimanan serta menimbulkan rasa bangga akan identitas diri mereka, maka pendidikan sejarah juga harus diarahkan pada kajian yang menyangkut kehidupan dan problem masa kini.
Dengan demikian, penerapan pengajaran sejarah Islam dalam kurikulum di pesantren pada tingkat elementer mungkin dapat menimbulkan imajinasi yang romantik, kekaguman terhadap kepribadian Muslim, dambaan akan perbuatan-perbuatan saleh, dan apresiasi terhadap warisan budaya Islam yang adiluhung. Sementara pada level menengah di tingkat lanjutan, pengajaran sejarah menawarkan sejarah etik dalam bentuk kesadaran sejarah. Kata Kuntowijoyo (1991: 357); “Pengertian tentang keterlibatan sejarah, panggilan untuk berpartisipasi dalam sejarah, dan ideologi mengenai aktivisme sejarah, merupakan tujuan-tujuan dari metode pengajaran etik yang dimaksud.” Disamping tujuan yang dikemukan tadi, pada tingkat pendidikan manapun kurikulum sudah harus memberi kesempatan kepada siswa untuk memanfaatkan apa yang dipelajari, baik di pesantren ataupun sekolah, dengan kehidupan nyata di sekitarnya. Intinya, suatu bangunan kurikulum di pesantren seyogyanya menyediakan pengalaman kepada santri untuk dapat menarik pelajaran dari sejarah dan melihat relevansinya dengan peristiwa atau kehidupan kontemporer, yang kemudian dikembangkan untuk suatu ancangan di masa depan. Demikian ini, karena menggunakan fakta-fakta sejarah sebagai materi utama sejarah, misalnya dengan siswa ditugaskan menghafal nama-nama pelaku sejarah,
nama peristiwanya, tahun serta tempat kejadian serta rangkaian fakta-fakta yang kering, memperlihatkan kecenderungan yang merugikan dan hanya akan bersifat counter-productive. Untuk menghindari hal menjemukan semacam ini, pendidikan sejarah bisa dilakukan dengan mengutamakan presentasi sinkronis, yang biasa dipakai oleh social scientist. Yaitu dimana masyarakat digambarkan secara luas sebagai sebuah sistem yang terdiri atas struktur dan bagian-bagiannya, dengan tidak memikirkan terlalu banyak mengenai dimensi waktunya. Sebaliknya, adalah model diakronis yang lebih mengutamakan dimensi waktu, kebanyakan digunakan dalam ilmu sejarah. Model sinkronis dipercaya efektif untuk menganulir cara penuturan sejarah yang bersifat kronologis, naratif, dan periodik. Sejarah kronologis-naratif meskipun mengklaim meriwayatkan “hal-hal sebagaimana terjadi” (histoire-realite), belakangan ini mendapat kritik sangat tajam. Oleh para penyanggah yang menyebut diri mereka dari aliran ilmu sejarah neoscientific, corak sejarah seperti itu dituding sebagai hanya mampu mengurut-urutkan episode-episode politik tertentu, sehingga cenderung berpihak dan subjektif. Ini berbeda dengan gaya pengungkapan sinkronis (non-naratif) yang menyajikan problem oriented dari suatu realitas dan motif-motif historisnya.
Sebenarnya untuk dapat merasakan motif-motif historis seperti itu, pengajaran sejarah di pesantren tidak harus selalu bersangkutan dengan materi-materi kesejarahan murni. Bisa saja pengetahuan sejarah diberikan berupa penekanan yang lebih besar kepada faktor-faktor historis sebagai komplemen yang melatar belakangi terjadinya suatu keilmuan keagamaan tertentu. Karena itu, pengajaran sejarah yang dimaksudkan di sini mungkin bisa saja hanya merupakan suatu metode dalam bentuk yang baru, namun unsur-unsurnya semuanya adalah tradsisional. Fazlur Rahman (2000: 171) mengemukan bahwa “para penulis sejarah hidup Muhammad, para pengumpul hadits, sejarahwan-sejarahwan, dan para penafsir al-qur’an, mereka itulah yang telah melestarikan bagi kita latar belakang sosio-historis al-qur’an dan perilaku rasul dan khususnya latar belakang (sya’n al-nuzul) dari ayat-ayat al-qur’an.” Dengan demikian, sumber dasar agama Islam dapat dimengerti secara sistematis menurut kasus-kasus khusus turunnya wahyu, dalam suatu tata ruang dengan latar belakang umum yang tidak lain adalah kegiatan hidup rasul (Sunnah dalam
pengertian yang selayaknya) dan lingkungan sosialnya. Contoh pada kasus lainnya sebagai berikut; dalam penentuan rantai isnâd bukanlah sekadar melacak tradisi yang sambung menyambung serta genealogi yang bisa dipertanggung jawabkan, tetapi juga yang tak kalah pentingnya menuntut pengetahuan sejarah tentang situasi sosial yang melingkupi pembawa berita tentang suatu hadits.
Adapun materi yang dapat diusulkan sebagai rancangan pengajaran sejarah Islam di lingkungan pendidikan pesantren ini adalah seputar tema-tema; aktualitas politik, sosial, dan aspek-aspek lainnya dalam kesejarahan klasik dan pertengahan Islam, yang meliputi zaman Nabi, Khulafâ al-Râsyidîn, dan periode dinasti-dinasti Islam sejak Amawiyah hingga masa moderen (masa regim Turki Utsmani). Dalam hal ini, para santri akan diakrabkan dengan bahan-bahan dan literatur yang otentik dan tidak memihak (biasanya secara teologis). Selain kitab sejarah yang sudah disebutkan digunakan di pesantren secara terbatas, berikut di bawah ini kitab-kitab sejarah standar (untuk tingkat lanjutan dan tinggi) yang cukup mewakili memuat segala informasi kesejarahan dari masa ke masa yang digagas tersebut di muka, dan dengan mudah dapat diakses, yaitu antara lain;
1. Muqaddimah karangan Ibn Khaldûn (1333-1406), berisi: sejarah sosial, filsafat sejarah, dan pengetahuan pendukung lain seperti antropologi dsb.
2. Fiqh al-Sîrah karya al-Ghazalî al-Bhûtî, berisi: biografi Nabi.
3. Usud al-Ghâbat fî Ma’rifat al-Shahâbat tulisan Ali b. Ahmad b. al-Atsir (w. 630 H), mengenai thabaqât (kumpulan biografi) para sahabat Nabi.
4. Târikh al-Khulafâ karya Jalâl al-Dîn al-Suyuthî (1445-1505) yang berisi kumpulan riwayat penguasa Mulim dan pejabat pemerintah.
5. ‘Ajâib al-Atsâr fî al-Tarâjum wa al-Akhbar tulisan Abd Rahman al-Jabartî (1754-1825).
6. Târikh al-Hadlârat al-Islâmiyyah fî al-‘Ushûr al-Wusthâ karya Abd Mun’im Majîd.
Demikianlah hal-hal yang dapat diajukan mengenai keinginan kuat memasukkan materi sejarah Islam pada kurikulum pendidikan di pesantren. Risalah pendek ini bermaksud mendorong pihak-pihak yang konsern pada modernisasi pendidikan di lembaga Islam tradisional tersebut, kiranya dapat mulai memikirkan penerapannya, agar pesantren dapat terus berpartisipasi dalam menciptakan pembangunan masyarakat Muslim ke depan.
Sebagaimana diketahui, distorsi dan falsifikasi terhadap rujukan masa lampau, khususnya dalam kesejarahan umat Muslim, sesungguhnya seringkali disebabkan lantaran sangat minimnya perhatian terhadap sejarah (historical mindedness). Padahal melalui kesadaran semacam itu, kata Taufik Abdullah (1986: xi), sejarah dapat menjadi sumber pelajaran berharga bagi suatu masyarakat. dan sanggup menyajikan suatu kerangka acuan yang dapat dipertanggung jawabkan, mengingat dari situ dapat diasumsikan suatu “hukum sejarah” yang objektif dan tetap. Dalam konteks sekarang, maka penumbuhan kesadaran sejarah tersebut adalah juga di dalam rangka pendidikan karakter bangsa, yang akhir-akhir ini sejak era reformasi terlihat dalam kondisi disorder.
Krisis dan disintegrasi sosial-politik baik secara vertikal maupun horisontal menyeret masyarakat cenderung semakin kehilangan keadaban (civility). Hilangnya karakter masyarakat ini lebih jauh akar masalahnya terletak tidak saja disebabkan krisis ekonomi maupun politik, melainkan juga karena serbuan globalisasi nilai-nilai dan gaya hidup yang tidak selalu kompatibel dengan nilai-nilai agama, dan norma-norma sosial-budaya lokal. Akibatnya, disorientasi dan dislokasi keluarga dan masyarakat semakin dipercepat. Maka langkah penting yang mungkin dapat dilakukan di dalam rangka pendidikan karakter masyarakat bangsa Indonesia, yang mayoritas Muslim, tersebut adalah dengan mengusahakan suatu proses pembelajaran melalui penanaman (tarbiyah) nilai-nilai luhur agamanya, sebagaimana teladan Nabi dan orang saleh terdahulu. Dengan demikian, penanaman kesadaran sejarah jelas memiliki pengaruh besar terhadap keberhasilan pembentukan karakter bangsa.
3. Pesantren Sebagai Feeder Institution
Suatu kenyataan yang hampir luput dari perhatian kita ialah bahwa kebanyakan para politikus agama akhir-akhir ini secara sosiologis dan intelektualberbasis atau memperoleh pendidikan dasar di pesantren. Pesantren sebagai tempat dimana aturan-aturan dan nilai-nilai Islam diajarkan dan dipelihara adalah lembaga pendidikan rakyat yang murah dan mudah. Berkenaan dengan perlunya penumbuhan kesadaran umat Muslim di atas, maka pesantren tentu tidak hanya menjadi tempat belajar (transfer of knowledge), namun sekaligus juga tempat memperoleh pendidikan, termasuk pendidikan karakter. Pesantren bertanggung jawab bukan hanya dalam mencetak peserta didik yang unggul dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga dalam membangun karakter (nation building) dan budaya politik agama. Usaha-usaha tersebut setidaknya dapat dilihat dalam pendekatan: menerapkan cara modelling atau exemplary atau uswah hasanah. Yakni mensosialisasikan dan membiasakan lingkungan pesantren untuk menghidupkan pemikiran dan tingkah laku berdasar model atau teladan kehidupan yang islami.
Sayangnya, pada umumnya lembaga pendidikan keagamaan tradisional pesantren dinilai tidak atau kurang serius mencanangkan perlunya sosialisasi dansubjek pengetahuan sejarah (Islam), yang mengajarkan kepada peserta didiknya “suatu rekonstruksi tentang pengalaman-pengalaman masa silam yang mengesankan, yang dengan itu individu maupun kolektif memperoleh perasaan identitas dan kesadarannya untuk mengambil keputusan yang berguna bagi dirinya sendiri dankemanusiaan”. Di dalam rangka membangun kembali kejayaan manusia Muslim
Muhammad Abduh dengan gigih memperjuangkan agar sejarah dapat diajarkan perguruan Al-Azhar. Ia sendiri menjadi pengajar sejarah di Universitas Dâr al-Ulû dengan memakai buku referensi Muqaddimah karya Ibn Khaldûn untuk filsafat sejarah, dan buku “Sejarah Kemajuan di Eropa dan Perancis” tulisan Guizot untu sejarah politik (Shiddiqi, 1991, 69). Selain untuk tujuan yang lebih besar seperti tersebut di atas, yaitu pendidika pesantren menanamkan kesadaran sejarah untuk membangun karakter bangsa pendidikan sejarah di pesantren juga, antara lain, dimaksudkan untuk menolak kesa umum mengenai pendidikan agama Islam di lembaga-lembaga seperti pesantren ini yang melulu mengkaji persoalan-persoalan normatif-dogmatif belaka. Terdapat sua kesan umum bahwa tamatan-tamatan pesantren gagap menghadapi realita kehidupan di lingkungan masyarakatnya. Sehingga umat Islam (komunitas santri masih seperti orang asing di rumahnya sendiri. Hal ini lantaran mereka memperole pengajaran Islam yang bersifat normatif, bukan realitas atau nilai-nilai yang sudah berlaku atau diperaktekkan oleh komunitas penganutnya (sejarah).
Hasil sebuah penelitian (Mastuhu, 1994: 170-3), menunjukkan bahwa di beberapa pondok pesantren tradisional bahkan tidak terdapat materi sejarah dalam kurikulum pendidikan mereka. Dalam daftar kitab yang dikaji di beberapa pesantren besar di Jawa, misalnya, terlihat tidak terlalu ada tambahan koleksi yang signifikan atas teks-teks yang dipakai di berbagai pesantren dan madrasah sejak satu abad setelah studi rintisan tentang kurikulum pesantren Jawa (dan Madura) yang dilakukan oleh Van den Berg di tahun 1886, sebagaimana dilaporkan kembali oleh Martin van Bruinessen (1995: 131). Tetap saja tradisi pesantren dan kitab-kitab kuning yang dipergunakan masih bersifat pendidikan dan pengajaran yang didominasi oleh pemikiran keagamaan warisan abad ke 7-13 Masehi dengan orientasi fikih dan kesufian. Kandungan intelektual Islam tradisional itu berkisar pada faham ‘aqîdah Asy’arî (khususnya melalui karya-karya al-Sanûsî), madzhab fiqh Syafî’î (dengan sedikit menerima tiga madzhab lainnya), dan ajaran-ajaran
akhlâk-tashawwuf al-Ghazalî dan pengarang kitab sejenis. Menurut Karel Steenbrink (1998); sebagian kitab yang dipelajari di pesantren, termasuk karya-karya mutakhir isinya berkisar pada tiga kategori itu atau pada “ilmu alat” yang berupa gramatika bahasa Arab tradisional (nahw), meskipun metode ini terbukti tidak efesien dibandingkan dengan pendekatan-pendekatan yang lebih modern. Ironisnya, kebanyakan santri memperoleh pengetahuan mengenai sejarah Islam pada umumnya dari karya-karya yang berisi penghormatan kepada Nabi dan orang-orang saleh. Kitab-kitab seperti Kitâb al-Barzanji (buku kelahiran Nabi) karya Ja’far al-Barzinjî, kitab Dardir (suatu syarah susunan Ahmad Dardir atas kitab Mi’râj, perjalanan nabi ke langit, versi Najm al-Dîn al-Gaithî), Burdah karya Bushîrî Dibâ’i --puisi penghormatan kepada Nabi--, dan berbagai kitab manâqib (seperti manâqib Abd al-Qâdir al-Jîlanî) adalah teks-teks yang mengandung nilai sejarah Islam, tetapi penggunaannya di pesantren selama ini bukanlah ditujukan untuk keperluan pendidikan dan tidak berfungsi sebagai bahan pelajaran, melainkan untuk keperluan pemujaan dan ritual mengiringi siklus kehidupan seseorang, memenuhi nazar atau menangkal bahaya, dan kadang-kadang untuk tujuan mengusir setan. Penekanan yang seringkali diberikan dalam pembacaan kitab-kitab tersebut adalah kepada upaya memperoleh pahala yang banyak, keuntungan spiritual dan material yang akan diperoleh dengan perbuatan itu, dan bukan kepada aspek kandungan informasi teks tersebut.
Sejarah Islam secara umum merupakan mata pelajaran baru yang diajarkan di pesantren, dan jumlah kitab yang tersedia mengenai bidang ini masih sangat terbatas. Van Bruinessen menemukan hanya kitab Nûr al-Yaqîn karangan Muhammad Khudlari Bek (dalam versinya yang lebih ringkas Khulâshah Nûr al-Yaqîn ditulis oleh Umar Abd Al-Jabbâr) benar-benar merupakan satu-satunya teks serius tentang sîrah (biografi Nabi) yang sekarang dijadikan bahan pelajaran di beberapa pesantren (Bruinessen, 1995: 168), tetapi dalam penelitian yang lebih baru, yang dilakukan oleh Mastuhu (1994: 170-3) buku teks sejarah Islam malah tidak ditemukan sama sekali dalam daftar kitab yang dikaji di pesantren-pesantren besar di Jawa dan Madura.
Setelah jaman keemasan Nabi dan para sahabatnya, kaum muslim mengalami kemerosotan kekuasaan politik yang terus menerus. Jatuhnya Baghdad pada 1258 menandai akhir kejayaan Islam dan awal periode kejatuhan yang panjang di bidang politik, ekonomi, dan agama. Hal ini mengakibatkan terbentuknya konsep yang dominan terhadap sejarah cenderung agak pesimistis, sehingga sejarah Islam tidak dipandang penting sebagai subjek pada dirinya sendiri. Pesantren-pesantren yang memelihara sikap taqlîd dan terlihat kurang apresiatif terhadap datangnya kebangkitan dunia Arab pada penutup abad kesembilan belas yang sangat dekat dengan gerakan kaum modernisnya Jamâluddîn Al-Afghânî, Abduh, dan lain-lainnya, tentu saja menganut visi sejarah tidak dinamis semacam di muka.
Oleh karena hampir-hampir tidak diketahui informasi maupun sumbernya, warisan peradaban kaum Muslim terdahulu yang gemilang tidak dapat diapresiasi untuk memberikan motivasi bagi pembentukan watak (character building) kaum Muslim ke depan, sampai mereka menjadi partisipan aktif dalam perkembangan historisnya. Jadi, sejarah sebenarnya memiliki posisi strategis dalam pendidikan Muslim, dimana melalui pengkajian sejarah; dinamika dan pencapaian-pencapaian orisinal umat Islam dalam pelbagai aspeknya; intelektual dan artistik, institusi, politik, ekonomi, kultural dan sebagainya, dapat dipresentasikan secara luas, dan ditanamkan kepada peserta didik, sampai mereka termotivasi untuk membentuk kesadaran sejarahnya masing-masing.
Akibatnya, pelajaran sejarah Islam tidak tercantum dalam lektur pesantren, karena materi pengajaran ini dianggap bukan merupakan disiplin ilmu yang penting. Padahal secara substansif, pengajaran sejarah Islam dapat menjadi materi pokok dan seharusnya merupakan satu bagian penting pada kurikulum pendidikan keagamaan di pondok pesantren, sejajar dengan mata pelajaran keagamaan konvensional lainnya seperti fiqh, tauhîd, ilmu-ilmu bahasa Arab (nahw-sharaf), dan lain-lainnya. Banyak sekali riwayat yang dikaitkan dengan episode-episode tertentu dalam sejarah Islam dalam literatur pesantren malah digunakan dalam rangka pendidikan moral. Menurut Steenbrink (1998: 159-60); Satu-satunya karya besar sejarah di Melayu yang membahas sejarah umum Islam adalah buku kedua dari Bustân al-Salâthîn tulisan Nuruddin al-Raniri, tetapi karya ini pun sesungguhnya merupakan kumpulan pelajaran moral bagi raja-raja dan rakyat awam.
Yang dimaksud dengan kurikulum di sini adalah semacam proyeksi yang bersifat umum, karena pesantren berbeda dengan madrasah atau sekolah dalam hal tidak adanya keseragaman dalam kurikulum, disamping beberapa hal lainnya. Masuknya mata pelajaran sejarah dalam kurikulum ini dimungkinkan karena umumnya lembaga pesantren tak ubahnya laksana suatu usaha pribadi; dimana tujuan pendidikan, rencana dan program-program kerjanya dikelola menurut improvisasi yang dipilih sendiri oleh kyai pendiri dan para pembantunya. Jadi bagi pengelola yang bisa dan mau memahami dinamika dan realitas masyarakat Muslim, tentu gagasan pengajaran sejarah akan direspon positif. Karena dengan begitu, lembaga pendidikan pesantren akan banyak memberikan manfa’at bagi masyarakat Muslim. Sebaliknya, seorang kyai yang kebetulan memiliki kapasitas intelektual terbatas, tentu cenderung menolak atau menghambat dimasukkannya pengetahuan kesejarahan itu ke dalam rencana pengajaran pesantren yang dipimpinnya. Alasan utama dari keengganan, untuk tidak mengatakan; menentang, terhadap pembaharuan kurikulum atau pemoderenan pemikiran Muslim melalui pendidikan ini adalah disebabkan karena kyai pesantren yang tergolong ke dalam kategori terakhir tersebut sangat tidak peduli pada pengetahuan praktis (termasuk pengetahuan kehidupan sosial dan niali-nilainya sebagaimana terkandung secara substantif dalam ilmu sejarah) dan keterampilan profesional (teknik, kedokteran, dsb.) yang disebut fann (jamaknya funun). Mereka merasa cukup puas dan bangga dengan hanya mengajarkan ‘ilm, yakni pengetahuan Syari’at bagi pembinaan pemikiran dan semangat Muslim (Fazlurrahman, 1985: 50-5).
Sepanjang sejarahnya, sesungguhnya kurikulum pesantren telah mengalami beberapa kali perubahan dan pembaharuan. Mula-mula sifat intelektual Islam jaman pertengahan begitu dominan mewarnai keilmuan pesantren saat beberapa orang Indonesia yang belajar di Mekah dan bermukim bertahun-tahun di sana mengembangkan intelektualisme Islam ortodoks—terutama teologi ortodoks dan hadits— mulai menyebarkan ilmu-ilmu mereka di pesantren-pesantren. Hal ini seperti tampak dari banyaknya referensi “Kitab Kuning” yang berisi hasil pemikiran keagamaan abad ke-7-13 yang bercorak fiqh dan kesufian. Meskipun demikian, materi Tafsir Jalâlayn yang sekarang mudah ditemukan di mana-mana, menurut van den Berg (dikutip Bruinessen, 1995: 159), pada akhir abad ke-19 belum dianggap sebagai bagian yang sangat penting dalam kurikulum pesantren. Barulah berkat modernisme dengan slogannya yang populer berbunyi; “Kembali kepada al-qur’an
dan hadits”, penafsiran al-qur’an jelas semakin mendapatkan arti pentingnya. Banyak ulama tradisionalis yang begitu saja merasa berkewajiban untuk menyesuaikan diri dan mulai memperhatikan tafsîr secara lebih serius. Hadits, bahkan lebih daripada tafsîr, merupakan mata pelajaran yang relatif baru di pesantren. Adanya minat yang lebih besar untuk mempelajari hadits sekarang ini hingga menjadi mata pelajaran wajib di kebanyakan pesantren barangkali karena akibat gerakan modern seperti dampaknya terhadap tafsîr.
Di masa mutakhir ini sejak lebih kurang 30 tahun yang lalu, sebagai akibat tantangan yang semakin gencar dari perkembangan kemajuan ilmu dan teknologi, pesantren menyelenggarakan jenis pendidikan formal seperti madrasah dan sekolah yang mempelajari ilmu-ilmu umum, dan sumber-sumber belajar pun telah berkembang luar biasa tidak hanya terbatas pada refrensi keagamaan tradisional semata (Karel Steenbrink, 1988). Secara keilmuan, perkembangan ini dengan sendirinya akan menghasilkan suatu pendekatan yang lebih luas dalam memahami ajaran Islam, khususnya Sejarah Islam. Setidaknya terdapat tiga alasan mengapa pengajaran sejarah sangat relevan bagi Muslim, yaitu; Pertama, kewajiban Muslim meneledani jejak dan karakter nabi Muhammad, dan khususnya di dalam rangka memperoleh pedoman pasti tentang peribadatan dan hukum-hukum agama. Pengetahuan akan riwayat Nabi juga sangat relevan untuk menjelaskan “dinamika” hidup Muhammad dalam hubungan dengan konteks sosialnya. Meskipun yang bersangkutan digambarkan sebagai suatu pribadi paripurna yang dipilih Tuhan, tetapi logika sejarah tetap menempatkannya tidak lebih dari manusia biasa yang hidup di dalam konteks ruang dan waktu tertentu sehingga meminimalisir persepsi mitologis tentangnya.
Kedua, piranti penting untuk memahami dan menafsirkan dua sumber doktrin ajaran Islam adalah pengetahuan mengenai latar belakang sejarah dan faktor-faktor penyebab turunnya wahyu tersebut. Sebagaimana terlihat dalam legislasi aktual dari ajaran universal al-qur’an, teks suci tersebut memuat dorongan moral dan seruan religius berupa moment psikologis yang kuat luar biasa dalam konteks sosial politik Mekah, sebagiannya malah telah menerima kondisi-kondisi sosiologis Arab pra-Islam sebagai rujukan. Demikian pula halnya dengan hadits Nabi; keputusan dan petunjuk Nabi tersebut biasanya bersumber dari, dan berhubungan dengan fenomena dan situasi objektif waktu itu, baik situasi keagamaan maupun politik. Ketiga, untuk menampilkan peristiwa-peristiwa penting di masa lampau; problem-problem Muslim, evolusi peradabannya dari masa ke masa, dan dinamika spiritual dan material umat Islam, sampai hal itu berhasil menumbuhkan imajinasi romantik atau etik, serta apresiatif terhadap terhadap warisan kultural Islam pada umumnya.
4. Kurikulum Pengajaran Sejarah
Seperti tersebut dalam uraian-uraian di atas, tujuan pengajaran sejarah Islam yang dicanangkan adalah bahwa pendidikan sejarah haruslah mengemban tugas sebagai wahana transmission of culture. Menurut pandangan yang dinamakan “perenialisme” ini, maka pengajaran disiplin itu mengarahkan peserta didik (santri) kepada penghargaan setinggi-tingginya atas the glourios past. Lalu, oleh karena pengagungan (veneration) dalam konteks terhadap masa lalu Islam ini memupuk dimensi baru dalam aktualisasi keimanan serta menimbulkan rasa bangga akan identitas diri mereka, maka pendidikan sejarah juga harus diarahkan pada kajian yang menyangkut kehidupan dan problem masa kini.
Dengan demikian, penerapan pengajaran sejarah Islam dalam kurikulum di pesantren pada tingkat elementer mungkin dapat menimbulkan imajinasi yang romantik, kekaguman terhadap kepribadian Muslim, dambaan akan perbuatan-perbuatan saleh, dan apresiasi terhadap warisan budaya Islam yang adiluhung. Sementara pada level menengah di tingkat lanjutan, pengajaran sejarah menawarkan sejarah etik dalam bentuk kesadaran sejarah. Kata Kuntowijoyo (1991: 357); “Pengertian tentang keterlibatan sejarah, panggilan untuk berpartisipasi dalam sejarah, dan ideologi mengenai aktivisme sejarah, merupakan tujuan-tujuan dari metode pengajaran etik yang dimaksud.” Disamping tujuan yang dikemukan tadi, pada tingkat pendidikan manapun kurikulum sudah harus memberi kesempatan kepada siswa untuk memanfaatkan apa yang dipelajari, baik di pesantren ataupun sekolah, dengan kehidupan nyata di sekitarnya. Intinya, suatu bangunan kurikulum di pesantren seyogyanya menyediakan pengalaman kepada santri untuk dapat menarik pelajaran dari sejarah dan melihat relevansinya dengan peristiwa atau kehidupan kontemporer, yang kemudian dikembangkan untuk suatu ancangan di masa depan. Demikian ini, karena menggunakan fakta-fakta sejarah sebagai materi utama sejarah, misalnya dengan siswa ditugaskan menghafal nama-nama pelaku sejarah,
nama peristiwanya, tahun serta tempat kejadian serta rangkaian fakta-fakta yang kering, memperlihatkan kecenderungan yang merugikan dan hanya akan bersifat counter-productive. Untuk menghindari hal menjemukan semacam ini, pendidikan sejarah bisa dilakukan dengan mengutamakan presentasi sinkronis, yang biasa dipakai oleh social scientist. Yaitu dimana masyarakat digambarkan secara luas sebagai sebuah sistem yang terdiri atas struktur dan bagian-bagiannya, dengan tidak memikirkan terlalu banyak mengenai dimensi waktunya. Sebaliknya, adalah model diakronis yang lebih mengutamakan dimensi waktu, kebanyakan digunakan dalam ilmu sejarah. Model sinkronis dipercaya efektif untuk menganulir cara penuturan sejarah yang bersifat kronologis, naratif, dan periodik. Sejarah kronologis-naratif meskipun mengklaim meriwayatkan “hal-hal sebagaimana terjadi” (histoire-realite), belakangan ini mendapat kritik sangat tajam. Oleh para penyanggah yang menyebut diri mereka dari aliran ilmu sejarah neoscientific, corak sejarah seperti itu dituding sebagai hanya mampu mengurut-urutkan episode-episode politik tertentu, sehingga cenderung berpihak dan subjektif. Ini berbeda dengan gaya pengungkapan sinkronis (non-naratif) yang menyajikan problem oriented dari suatu realitas dan motif-motif historisnya.
Sebenarnya untuk dapat merasakan motif-motif historis seperti itu, pengajaran sejarah di pesantren tidak harus selalu bersangkutan dengan materi-materi kesejarahan murni. Bisa saja pengetahuan sejarah diberikan berupa penekanan yang lebih besar kepada faktor-faktor historis sebagai komplemen yang melatar belakangi terjadinya suatu keilmuan keagamaan tertentu. Karena itu, pengajaran sejarah yang dimaksudkan di sini mungkin bisa saja hanya merupakan suatu metode dalam bentuk yang baru, namun unsur-unsurnya semuanya adalah tradsisional. Fazlur Rahman (2000: 171) mengemukan bahwa “para penulis sejarah hidup Muhammad, para pengumpul hadits, sejarahwan-sejarahwan, dan para penafsir al-qur’an, mereka itulah yang telah melestarikan bagi kita latar belakang sosio-historis al-qur’an dan perilaku rasul dan khususnya latar belakang (sya’n al-nuzul) dari ayat-ayat al-qur’an.” Dengan demikian, sumber dasar agama Islam dapat dimengerti secara sistematis menurut kasus-kasus khusus turunnya wahyu, dalam suatu tata ruang dengan latar belakang umum yang tidak lain adalah kegiatan hidup rasul (Sunnah dalam
pengertian yang selayaknya) dan lingkungan sosialnya. Contoh pada kasus lainnya sebagai berikut; dalam penentuan rantai isnâd bukanlah sekadar melacak tradisi yang sambung menyambung serta genealogi yang bisa dipertanggung jawabkan, tetapi juga yang tak kalah pentingnya menuntut pengetahuan sejarah tentang situasi sosial yang melingkupi pembawa berita tentang suatu hadits.
Adapun materi yang dapat diusulkan sebagai rancangan pengajaran sejarah Islam di lingkungan pendidikan pesantren ini adalah seputar tema-tema; aktualitas politik, sosial, dan aspek-aspek lainnya dalam kesejarahan klasik dan pertengahan Islam, yang meliputi zaman Nabi, Khulafâ al-Râsyidîn, dan periode dinasti-dinasti Islam sejak Amawiyah hingga masa moderen (masa regim Turki Utsmani). Dalam hal ini, para santri akan diakrabkan dengan bahan-bahan dan literatur yang otentik dan tidak memihak (biasanya secara teologis). Selain kitab sejarah yang sudah disebutkan digunakan di pesantren secara terbatas, berikut di bawah ini kitab-kitab sejarah standar (untuk tingkat lanjutan dan tinggi) yang cukup mewakili memuat segala informasi kesejarahan dari masa ke masa yang digagas tersebut di muka, dan dengan mudah dapat diakses, yaitu antara lain;
1. Muqaddimah karangan Ibn Khaldûn (1333-1406), berisi: sejarah sosial, filsafat sejarah, dan pengetahuan pendukung lain seperti antropologi dsb.
2. Fiqh al-Sîrah karya al-Ghazalî al-Bhûtî, berisi: biografi Nabi.
3. Usud al-Ghâbat fî Ma’rifat al-Shahâbat tulisan Ali b. Ahmad b. al-Atsir (w. 630 H), mengenai thabaqât (kumpulan biografi) para sahabat Nabi.
4. Târikh al-Khulafâ karya Jalâl al-Dîn al-Suyuthî (1445-1505) yang berisi kumpulan riwayat penguasa Mulim dan pejabat pemerintah.
5. ‘Ajâib al-Atsâr fî al-Tarâjum wa al-Akhbar tulisan Abd Rahman al-Jabartî (1754-1825).
6. Târikh al-Hadlârat al-Islâmiyyah fî al-‘Ushûr al-Wusthâ karya Abd Mun’im Majîd.
Demikianlah hal-hal yang dapat diajukan mengenai keinginan kuat memasukkan materi sejarah Islam pada kurikulum pendidikan di pesantren. Risalah pendek ini bermaksud mendorong pihak-pihak yang konsern pada modernisasi pendidikan di lembaga Islam tradisional tersebut, kiranya dapat mulai memikirkan penerapannya, agar pesantren dapat terus berpartisipasi dalam menciptakan pembangunan masyarakat Muslim ke depan.
BAHAN RUJUKAN:
Dirdjosanjoto, Pradjarta, Memelihara Umat (Yogjakarta, LkiS, 1999).
Hasan, Hamid, Kurikulum dan Buku Sejarah (Jakarta, Pusjarahnitra, 1996).
Hudgson, Marshall, The Ventrure of Islam (1988)
Kuntowijoyo, Paradigma Islam (Bandung, Mizan, 1991).
Magetsari, Noerhadi, “Penelitian Agama Islam: Tinjauan Disiplin Ilmu Budaya” dalam Mastuhu et al, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam (Jakarta: Nuansa,
1998).
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren (Jakarta: INIS, 1994).
Rahman, Fazlur, Islam (Bandung: Pustaka, 2000).
Rahman, Fazlur, Islam Dan Modernitas (Bandung: Pustaka, 1985).
Shiddiqi, Nourouzzaman, “Sejarah Pisau Bedah Ilmu Keislaman” dalam Taufik Abdullah (ed.), Metodologi Penelitian Agama (Jogjakarta; Tiara Wacana, 1991).
Smith, Donald Eugene, Agama dan Modernisasi Politik (Jakarta: Rajawali Pers, 1985).
Steenbrink, Karel, “Mengungkap Kembali Masa Lampau” dalam Mark R. Woodward (ed.), Jalan Baru Islam (Bandung, Mizan, 1998).
Steenbrink, Karel, Pesantren, Madrasah, Sekolah (Jakarta, LP3ES, 1998)
van Bruinessen Martin, “Kitab Kuning: Buku-buku Berhuruf Arab yang Dipakai Di Lingkungan Pesantren” dalam M. van Bruinessen, Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat (Bandung: Mizan, 1995).
2 komentar:
Nich Source Code SCTV :D abis ini komennya diapus yach... hehehehe....
<embed src='http://video.liputan6.com/libs/jwplayer/player-licensed-viral.swf' height='450' width='600' allowscriptaccess='always' allowfullscreen='true' flashvars='file=http%3a%2f%2fvideo.liputan6.com%2fmrss.php%3fprogram%3dl6pagi%26id%3d0%26m_id%3d&repeat=list&autostart=true&plugins=viral-1d'/></embed>
hahahahaha,....ok2 mkch bang
Posting Komentar